Sebagaimana yang telah kita ketahui, dan telah banyak Allah jelaskan dalam firman-firman-Nya salah satu ciri orang yang bertaqwa adalah memaafkan kesalahan orang lain, meskipun untuk mewujudkannya yaitu memaafkan adalah bukan perkara yang sangat mudah, semudah membalikkan telapak tangan. Walaupun Allah telah banyak menjelaskan dalam firman-firman-Nya, bahwa salah satu ciri orang yang bertaqwa adalah memaafkan kesalahan orang lain, namun dalam prakteknya memaafkan adalah bukan perkara yang mudah.
Masih ingatkah kita akan kisah Abu Bakar
As-Shiddiq yang pada suatu hari bersumpah untuk tidak lagi membantu Misthah bin
Atsatsah, salah seorang kerabatnya? Begitu berat kenyataan itu bagi beliau
karena Misthah bin Atsatsah telah ikut menyebarkan berita bohong tentang putri
beliau yaitu Siti Aisyah ra. Tetapi Allah yang maha Rahman melarang sikap
Abu Bakar tersebut, sehingga turunlah ayat ke-22 dari surah An-Nur.
“Janganlah orang-orang
yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka
tidak akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat (nya), orang-orang yang miskin
dan orang-orang yang berhijrah di jalan Allah. Hendaklah mereka memaafkan dan
berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin agar Allah mengampunimu? Sesungguhnya,
Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Nur:22).
Ayat
ini mengajarkan kepada kita agar melakukan sebuah hal mulia kepada orang yang
pernah berbuat dosa kepada diri kita, yaitu memaafkan. Dan sebuah kemaafan
masih belum sempurna ketika masih tersisa ganjalan, apalagi dendam yang membara
didalam hati kita.
Islam
diturunkan untuk menjadi rahmat bagi semesta alam. Dan sebuah keberuntungan
ketika kita mengikhlaskan hati menerima Islam sebagai jalan hidup, yaitu
berarti kita tertuntun sebagai manusia yang senantiasa membawa berkah dan
kedamaian bukan hanya untuk diri kita namun juga semua makhluk disekitar kita.
Salah satu kebesaran kedamaiannya akan merujuk pada setiap jiwa yang dengan
rela memaafkan. Hal itu juga akan melingkupi batin manusia lain yang ada disekitarnya.
Dan
di hari yang fitri ini, sudah ringankah hati kita untuk menghantarkan maaf dan
membalas orang- orang yang telah dengan sengaja atau tidak menyakiti hati kita?
Tak
perduli siapapun dan bagaimanapun kita sekarang, namun satu yang pasti,
kerendahan hati kita untuk memaafkan dan meminta maaf mencerminkan ketinggian
dan keluhuran budi sebagai manusia.
Berikan
senyum dan jabat tangan orang yang meminta maaf dengan ikhlas kepada anda,
begitupun sebaliknya. Jangan biarkan kekerasan hati hadir sebagai pembatas dan
pemungkas semua keikhlasan kita untuk menuju kesucian diri.
Jangan
biarkan hati dikuasai ego dan emosi, apalagi hanya sekedar kepentingan duniawi.
Betapa indah hari yang fitri, sebagai nikmat dan karunia Ilahi yang tiada
batas, yang terikat dalam jalinan silaturahmi.
Jika
hari raya hanya sekedar basa basi senyum dan keramahan dan hanya merupakan
sekedar formalitas pengisian sebuah momen, tanpa hadirnya kemaafan yang datang
dengan ringan mengalir dihati, lalu dimanakah letak kemenangan sesungguhnya atas
penguasaan dan kontrol diri kita?
Untuk
apa kita harus dengan detail membuat neraca kesalahan orang lain sehingga hal
tersebut malah semakin menggambarkan kekerdilan jiwa kita. Bukankah tidak ada
manusia yang sempurna di muka bumi ini?
Memaafkan
ibarat bunga yang melepaskan keharumannya, pada kaki seseorang yang telah
menginjaknya. Keharumannya tidak akan terbuang percuma, dan bahkan mungkin
penyesalan yang akan melingkupi hati manusia yang telah menyia-nyiakannya.
Sifat
mudah memaafkan dan meminta maaf hanya dimiliki oleh hamba- hamba yang terpilih
karena keluasan hati mereka yang pastinya sangat membahagiakan, bukan hanya
bagi dirinya sendiri, namun juga bagi makhluk disekitar mereka.
Memaafkan
adalah rejeki. Setidaknya dengan memaafkan, relasi kita tidak pernah berkurang.
Ini berarti perantara kita mendapatkan rezeki juga tidak pernah berkurang.
Bahkan rezeki dari Allah Subhanahu Wata`ala adalah sebagian besar melalui
perantaraan dari orang lain.
Semoga
Allah menggolongkan kita atas hamba-hamba-Nya yang berhati lembut
karena mudah tersadar atas kesalahan diri dan ringan dalam meminta maaf. Dan
semoga kita tergolong hamba- hamba yang berjiwa besar karena keluasan hati kita
dalam memaafkan saudara-saudara kita yang telah menyakiti kita. Aamiin.
(Syahidah/voa-islam.com).
Memaafkan, menyambung silaturrahmi yang terputus adalah membuka pintu rezeki. Postingan yang menarik.:)
BalasHapus